Opini

1451

DILEMA TAHAPAN PEMETAAN TPS: DITUNTUT PRESISI, TANPA TAHAPAN PASTI

DILEMA TAHAPAN PEMETAAN TPS: DITUNTUT PRESISI, TANPA TAHAPAN PASTI Oleh : Muhammad Indra S (Divisi Perencanaan Data dan Informasi, KPU Kabupaten Trenggalek) Salah satu komponen yang keberadaannya mutlak harus ada dalam penyelenggaraan Pemilu adalah Tempat Pemungutan Suara atau disingkat TPS. TPS adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara. Ketepatan dalam menentukan jumlah TPS menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diupayakan. Penentuan jumlah TPS ini akan berkorelasi dengan banyak hal penting lain dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu. Jumlah TPS berimplikasi pada kebutuhan sumber daya manusia yang akan dilibatkan pada semua tahapan, mulai dari Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih, Pengadaan Logistik hingga tahapan Pemungutan Suara. Opini selengkapnya dapat dibaca/unduh di sini.


Selengkapnya
1524

DAFTAR PEMILIH BERKELANJUTAN, STRATEGI MITIGASI VALIDITAS DATA PEMILIH

Oleh: Muhammad Indra Setiawan Divisi Perencanaan, Data dan Informasi Mengapa orang yang telah meninggal di Pemilu/Pemilihan sebelumnya statusnya masih ada, atau ekstrimnya hidup kembali di data Pemilihnya Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Apakah KPU sengaja memainkan data Pemilih? Pertanyaan-pertanyaan senada sering muncul dan acap kali terdengar liar di obrolan-obrolan ringan di berbagai kesempatan. Tulisan ini mencoba untuk sedikit menelisik terkait aktivitas KPU dalam melakukan pemutakhiran data Pemilih. Menurut beberapa regulasi tentang daftar/data Pemilih dalam bab ketentuan umum, Data Pemilih didefinisikan sebagai data perseorangan dan/atau data agregat penduduk yang terstruktur yang memenuhi persyaratan sebagai Pemilih. Dalam penyelenggaraaan event electoral  Nasional, baik Pemilu maupun Pemilihan, persoalan data Pemilih memang menjadi salah satu isu yang seksi untuk diperbincangkan, khususnya menjelang hari H pelaksanaan pemungutan suara ataupun di saat terjadi sengketa baik proses maupun hasil Pemilu/Pemilihan. Namun selama ini tema data Pemilih belum menjadi isu utama bagi peserta Pemilu/Pemilihan dan masyarakat secara umum apabila tahapan pemilu/Pemilihan masih jauh dan belum mendekati hari H. Padahal KPU telah mengakomodir dalam regulasi tahapan dan jadwal dengan memberi porsi waktu yang sangat panjang, bahkan paling lama dibandingkan dengan tahapan lainnya. KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan Pemilihan, sebenarnya selalu menjadikan Data Pemilih sebagai isu penting bahkan menjadikannya sebagai salah satu core bussines utama yang wajib dikelola dengan baik oleh segenap jajaran KPU. Terlepas bahwa Pemutakhiran Data Pemilih merupakan amanah Undang-Undang yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, KPU menerjemahkannya dengan serius. Keseriusan KPU dalam menangani masalah Pemutakhiran ini tercermin dengan dikeluarkannya regulasi terkait Pemutakhiran Data Pemilih di setiap kali event penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan. Dan yang terbaru, setelah sukses menyelenggarakan Pemilihan serentak tahun 2020, KPU mengeluarkan regulasi yang khusus membahas pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih. Regulasi dimaksud adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan. Dimana sebelumnya terkait Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan ini “hanya” diatur dalam Surat Edaran dan Surat Dinas Ketua KPU RI, yaitu SD KPU Nomor 132 tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 dan terakhir diubah menjadi SD 366 tahun 2021. Pelaksanaan Pemutakhiran DPB ini mengadopsi pendekatan continous list, yang mana pendataan Pemilih terus meneruh dilaksanakan tanpa ada tahapan Pemilu/Pemilihan. Ada beberapa alur yang “disempurnakan”. Pendekatan ini dimulai dengan DPT terakhir yang disinkronkan dengan Data Konsolidasi Bersih Kemendagri setiap 6 (enam) bulan sekali yang kemudian akan dimutakhirkan oleh KPU Kabupaten/Kota setiap bulan dan harus dirapat koordinasikan bersama Stake Holder dan direkap di Kabupaten minimal sekali dalam tiap 3 (tiga) bulan dan tiap 6 (enam) bulan sekali di Provinsi. Pendekatan berkelanjutan ini diyakini sebagai pendekatan yang paling tepat dalam menjawab beberapa persoalan data Pemilih selama ini. Sistem pemutakhiran berkelanjutan ini, juga banyak diterapkan di negara-negara demokratis yang sedang berkembang dan maju. Pada pendekatan pemutakhiran data Pemilih secara berkelanjutan ini juga diikuti dengan penyempurnaan prinsip-prinsip yang harus dipedomani oleh semua jajaran penyelenggara. Berdasarkan PKPU 6 tahun 2021, penyelenggaraan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan harus memenuhi prinsip: Komprehensif, Inklusif, Akurat, Mutakhir, Terbuka, Responsif, Partisipatif, Akuntabel, dan Perlindungan Data Pribadi. Keunggulan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan PDPB merupakan salah satu strategi riil KPU dalam memitigasi dan menjawab keraguan publik terkait akurasi dan manipulasi data Pemilih yang selama ini menjadi salah satu yang dipersoalkan oleh beberapa peserta pemilu. Ada hal-hal positif yang ditawarkan dengan penyusunan daftar Pemilih berkelanjutan. Bagi KPU, dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemilu/pemilihan, KPU akan memiliki waktu yang cukup untuk menyusun dan mengelola data Pemilih dengan memedomani penuh prinsip-prinsip pemutakhiran. Selain itu, banyak kegiatan di KPU yang mendasarkan pada data Pemilih, sehingga dengan keakuratan data Pemilih akan memudahkan KPU dalam merencanakan kegiatan, mulai dari logistik hingga anggaran dengan lebih detail, presisi dan akuntabel. Bagi Peserta Pemilu/Pemilihan, dengan data Pemilih yang mutakhir, baik partai politik maupun perrseorangan akan mendapatkan kemudahan dalam hal membuat kebijakan-kebijakan yang berbasis data yang akurat dan terbuka. Sementara itu, bagi masyarakat umum, masyarakat akan memiliki ruang dan waktu yang cukup luas dalam beberapa aktivitas. Mulai dari meneliti keberadaaan dirinya, apakah sudah terdaftar sebagai Pemilih atau belum, jika sudah terdaftar apakah datanya sudah benar apa belum, atau memberikan tanggapan mengenai keberadaan Pemilih yang sudah tidak memenuhi syarat sebagai Pemilih, namun masih terdaftar dalam Daftar Pemilih. Dengan PDPB ini masyarakat secara umum akan memiliki waktu yang lebih panjang dalam mencermati perkembangan DPB KPU untuk diberikan masukan dan koreksi jika ditemukan ketidak sesuaian. Otokritik Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tiada gading yang tak retak. Sebagaimana jamaknya hal baru, sangat memungkinkan adanya kekurangan. Pun demikian halnya dengan PPDB.  Beberapa kekurangan PDPB yang perlu untuk disempurnakan berdasarkan fakta empiris. Pertama, Tidak adanya badan Ad Hoc selama kegiatan non tahapan. Di luar masa tahapan, Badan Ad Hoc secara kontraktual sudah tidak terikat kerja dengan KPU, sehingga kerja-kerja pemutakhiran data Pemilih berkelanjutan, praktis hanya dilakukan oleh SDM KPU yang ada di Kabupaten/Kota, terdiri dari komisioner dan pegawai sekretariat. Dengan keterbatasan jumlah SDM dan jangkauan akses SDM yang ada, cukup membatasi ruang gerak KPU dalam melakukan PDPB secara ideal. Kedua, Minimnya anggaran khusus PDPB. Dengan kuantitas SDM yang ada di luar tahapan yang sangat terbatas, ditambah dengan minimnya support anggaran untuk kegiatan PDPB, menjadikan kegiatan PDPB kesulitan menemukan bentuk idealnya sesuai prinsip-prinsip Penyusunan Daftar Pemilih. Di luar tahapan Pemilu dan Pemilihan, KPU Kabupaten/Kota hanya mengandalkan dukungan anggaran rutin non hibah, yang secara nominal sangat terbatas. Ketiga, Tafsir regulasi tertentu yang beragam. Data Pemilih sangatlah erat hubungannya dengan Data Penduduk. Negara telah memberikan kewenangan terkait pengelolaan data kependudukan kepada Kemendagri, khususnya di Dirjen Dukcapil. Dalam rangka melindungi data pribadi penduduk, Dirjen Dukcapil mengeluarkan surat edaran yang intinya menginstruksikan kepada Disdukcapil di daerah untuk tidak membagikan data penduduk kepada pihak manapun. Surat edaran ini kemudian diterjemahkan beragam di masing-masing daerah. Namun secara umum, mereka menerjemahkan dengan tidak membagi data kepada pihak manapun, termasuk kepada sesama lembaga pemerintah, dalam hal ini KPU. Parahnya lagi pemahaman serupa disosialisasikan secara masif kepada semua stake holder yang ada di bawah, misalnya desa yang notabene merupakan institusi sumber data penduduk/pemilih. Tidak adanya mitra badan adhoc, terbatasnya anggaran PDPB dan penerjemahan regulasi secara saklek dan beragam, menambah rentetan panjang masalah dan tantangan KPU Kabupaten/Kota dalam mengekskusi penyusunan Daftar Pemilih Berkelanjutan secara maksimal. Sebenarnya KPU tidak diam dan berpangku tangan dalam menyikapi dinamika di lapangan. Beberapa terobosan telah dilakukan dalam upaya memaksimalkan pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan, salah satunya dengan memperkuat koordinasi dengan stake holder yang terdiri dari berbagai dinas, instansi, institusi, komunitas dan lain-lain. Namun bagaimananpun juga, akan menjadi tidak maksimal dalam menjalankan regulasi jika antar lembaga negara yang berkepentingan dalam menghasilkan dan mengelola data, tidak dalam satu frekuensi dalam memahami kebutuhan bersama. Harus diakui, lahirnya PKPU 6 tahun 2021 yang belum mengatur teknis secara detail, belum tentu menjawab persoalan-persoalan yang muncul di lapangan. Dibutuhkan regulasi yang lebih detail yang sifatnya lebih operasional sebagai acuan penyelenggara di tingkat bawah dalam mengaplikasikan kegiatan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kesepahaman antar lembaga negara, bahwa untuk kepentingan validitas data, semua lembaga negara yang berkepentingan, akan lebih bijak jika saling terbuka dan saling menjaga dalam mengelola data dimaksud. (semoga)


Selengkapnya
848

MENJAWAB KEKHAWATIRAN BENCANA KEMANUSIAAN DALAM PEMILU 2024

Oleh: Imam Nurhadi, Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Trenggalek Pemilihan Umum serentak tahun 2024 merupakan Pemilu dengan kompleksitas yang sangat rumit. Bukan saja berkaitan dengan sistem Pemilu yang masih menggunakan lima bentuk pemilihan sebagaimana Pemilu tahun 2019 yang lalu, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan anggota DPD RI, Pemilihan anggota DPR RI, Pemilihan anggota DPRD Provinsi, dan Pemilihan DPRD Kabupaten/ Kota yang dilaksanakan dalam satu waktu yang bersamaan sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Namun juga berkaitan dengan adanya pandemi covid-19 yang masih dimungkinkan saat perhelatan Pemilu diselenggarakan. Permasalahan Pemilu tahun 2019 lalu yang oleh salah satu media di Indonesia disebut sebagai “Bencana Baru Kemanusiaan” akan menjadi topik hangat dalam forum-forum diskusi di tanah air. Faktor kelelahan, adanya penyakit bawaan (komorbid) dan faktor usia tua bagi penyelenggara menjadi isu yang dapat dikembangkan sebelum penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 digelar. Kekhawatiran masyarakat menjadi salah satu konskuensi yang logis jika isu kemanusiaan dikembangkan, sehingga tidak hanya berdampak pada partisipasi masyarakat yang menurun, tetapi akan berpengaruh terhadap sukses dan tidaknya Pemilihan Umum pada tahun 2024 yang akan datang. Dan meskipun Pemilihan Serentak Lanjutan tahun 2020 yang lalu dianggap sukses dalam penyelenggaraannya, karena mampu menjawab kekhawatiran berkaitan dengan ‘cluster’ baru dan adanya korban jiwa. Namun dengan kompleksitas Pemilu tahun 2024, bukan tidak mungkin isu kemanusiaan dikembangkan kembali. Dengan begitu, perlu adanya desain antisipasi penyelenggaraan Pemilu yang dapat menjawab kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Antisipasi penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 terhadap adanya korban jiwa yang dapat terjadi di antaranya: Pertama, pembatasan usia penyelenggara sebagaimana kebijakan dalam penyelenggaraan Pemilihan Serentak Lanjutan tahun 2020 yang lalu. Dengan ketentuan usia minimal 20 (dua puluh) tahun, dan usia maksimal bagi penyelenggara 50 (lima puluh) tahun. Pembatasan usia bukan saja berkaitan dengan usia produktif manusia, akan tetapi juga berkaitan dengan kekebalan tubuh manusia terhadap virus. Selain itu sebagaimana data Pemilu tahun 2019 yang lalu, faktor usia diatas 50 (lima puluh) tahun bagi penyelenggara termasuk penyebab kematian terbanyak.   Kedua, pembatasan terhadap penderita penyakit tertentu, khususnya penderita penyakit bawaan atau  penyakit komorbid bagi penyelenggara.  Sebagaimana data dari Kemenkes yang menyebutkan bahwa sekitar 95% pasien penderita covid-19 dengan penyakit bawaan mengalami tutup usia, maka dengan pembatasan penyelenggara dari penderita penyakit bawaan akan mampu meminamilisir korban jiwa dan menjawab kekhawatiran masyarakat. Selain faktor usia diatas 50 (lima puluh) tahun, penyakit bawaan termasuk faktor yang mempengaruhi korban jiwa dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2019. Ketiga, pembekalan pengetahuan teknis  yang sama antara penyelenggara dan saksi peserta Pemilu. Dalam penyelenggaran Pemilu tahun 2019 maupun Pemilu-pemilu sebelumnya, yang menjadi pembeda  lama atau tidaknya waktu pelaksanaan di TPS bukan terjadi pada waktu pemungutan suara, akan tetapi saat dilaksanakan penghitungan suara. Sehingga jika ada bekal pengetahuan yang sama antara penyelenggara dan peserta Pemilu akan memungkinkan terjadinya efektifitas waktu saat dilaksanakan penghitungan suara. Keempat, kesadaran yang sama dari semua pihak untuk mensukseskan Pemilu. Adanya bangunan kesepahaman bahwa sukses dan tidaknya penyelenggaraan Pemilu merupakan tanggungjawab semua pihak, dan bukan hanya tanggungjawab penyelenggara Pemilu perlu menjadi kesadaran bersama. Hal ini erat hubungannya dengan adanya anggapan jika kesuksesan Pemilu merupakan tanggungjawab dari penyelenggara Pemilu saja, karena berkaitan dengan tugas dan fungsi penyelenggara. Sehingga sebagian besar masyarakat ada kecenderungan apatis terhadap kesuksesan pemilu, dan menganggap jika sudah menggunakan hak konstusionalnya sebagai warga negara dengan melaksanakan pemungutan di TPS sudah dianggap cukup. Meski masih banyak warga yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap belum menggunakan hak pilihnya, kecenderungan membiarkan saja tanpa ada keinginan untuk mengingatkan sangat kuat terjadi di masyarakat. Bahkan mayoritas masyarakat kurang ada minat untuk ikut serta dalam mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara. Tidak hanya itu, tidak sedikit peseta pemilu sendiri yang hanya mengamati proses pemungutan dan penghitungan suara jika hanya berkaitan dengan massa konsttituennya saja atau ketika menyangkut calon atau partai yang didukungnya saja.   Kelima, penerapan protokol kesehatan yang ketat. Protokol kesehatan adalah salah satu hal wajib yang harus ditekankan oleh siapapun yang melibatkan banyak orang dimasa pandemi covid-19 ini. Penerapan protokol kesehatan tidak hanya diberlakukan pada seluruh penyelenggara Pemilu saja, tetapi semua elemen yang terlibat dalam Pemilu. Termasuk saksi partai politik atau saksi calon. Prinsip kesuksesan Pemilu bukan hanya berkaitan dengan Pemilu yang demokratis, Pemilu yang mampu menghantarkan wakil-wakil masyarakat banyak atau pemimpin bangsa Indonesia berikutnya saja, akan tetapi juga harus tidak adanya ‘cluster’ penderita covid-19 perlu adanya penekanan terhadap semua pihak dan seluruh elemen masyarakat. Selain beberapa hal di atas, adanya pembatasan jumlah pemilih dalam 1 (satu) TPS paling banyak 300 (tiga ratus) pemilih sebagaimana pelaksanaan Pemilu tahun 2019 harus tetap menjadi ketentuan yang tidak diubah. Dengan semakin sedikitnya jumlah pemilih dalam TPS, maka akan mengurangi beban kerja penyelenggara di tingkat TPS. Sehingga faktor kelelahan dalam menjalankan tugas dapat terminimalisir. Namun konsekuensi dari semakin sedikitnya jumlah pemilih di TPS, akan ada peningkatan jumlah TPS, yang berdampak pada kenaikan anggaran Pemilihan Umum. Dengan jumlah 300 (tiga ratus) pemilih tiap TPS, menjadi jalan keluar untuk keseimbangan beban kerja penyelenggara dan peningkatan anggaran penyelenggaran Pemilu.***


Selengkapnya