
MENJAWAB KEKHAWATIRAN BENCANA KEMANUSIAAN DALAM PEMILU 2024
Oleh: Imam Nurhadi, Divisi Hukum dan Pengawasan
KPU Kabupaten Trenggalek
Pemilihan Umum serentak tahun 2024 merupakan Pemilu dengan kompleksitas yang sangat rumit. Bukan saja berkaitan dengan sistem Pemilu yang masih menggunakan lima bentuk pemilihan sebagaimana Pemilu tahun 2019 yang lalu, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan anggota DPD RI, Pemilihan anggota DPR RI, Pemilihan anggota DPRD Provinsi, dan Pemilihan DPRD Kabupaten/ Kota yang dilaksanakan dalam satu waktu yang bersamaan sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Namun juga berkaitan dengan adanya pandemi covid-19 yang masih dimungkinkan saat perhelatan Pemilu diselenggarakan.
Permasalahan Pemilu tahun 2019 lalu yang oleh salah satu media di Indonesia disebut sebagai “Bencana Baru Kemanusiaan” akan menjadi topik hangat dalam forum-forum diskusi di tanah air. Faktor kelelahan, adanya penyakit bawaan (komorbid) dan faktor usia tua bagi penyelenggara menjadi isu yang dapat dikembangkan sebelum penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 digelar. Kekhawatiran masyarakat menjadi salah satu konskuensi yang logis jika isu kemanusiaan dikembangkan, sehingga tidak hanya berdampak pada partisipasi masyarakat yang menurun, tetapi akan berpengaruh terhadap sukses dan tidaknya Pemilihan Umum pada tahun 2024 yang akan datang.
Dan meskipun Pemilihan Serentak Lanjutan tahun 2020 yang lalu dianggap sukses dalam penyelenggaraannya, karena mampu menjawab kekhawatiran berkaitan dengan ‘cluster’ baru dan adanya korban jiwa. Namun dengan kompleksitas Pemilu tahun 2024, bukan tidak mungkin isu kemanusiaan dikembangkan kembali. Dengan begitu, perlu adanya desain antisipasi penyelenggaraan Pemilu yang dapat menjawab kekhawatiran yang terjadi di masyarakat.
Antisipasi penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 terhadap adanya korban jiwa yang dapat terjadi di antaranya: Pertama, pembatasan usia penyelenggara sebagaimana kebijakan dalam penyelenggaraan Pemilihan Serentak Lanjutan tahun 2020 yang lalu. Dengan ketentuan usia minimal 20 (dua puluh) tahun, dan usia maksimal bagi penyelenggara 50 (lima puluh) tahun. Pembatasan usia bukan saja berkaitan dengan usia produktif manusia, akan tetapi juga berkaitan dengan kekebalan tubuh manusia terhadap virus. Selain itu sebagaimana data Pemilu tahun 2019 yang lalu, faktor usia diatas 50 (lima puluh) tahun bagi penyelenggara termasuk penyebab kematian terbanyak.
Kedua, pembatasan terhadap penderita penyakit tertentu, khususnya penderita penyakit bawaan atau penyakit komorbid bagi penyelenggara. Sebagaimana data dari Kemenkes yang menyebutkan bahwa sekitar 95% pasien penderita covid-19 dengan penyakit bawaan mengalami tutup usia, maka dengan pembatasan penyelenggara dari penderita penyakit bawaan akan mampu meminamilisir korban jiwa dan menjawab kekhawatiran masyarakat. Selain faktor usia diatas 50 (lima puluh) tahun, penyakit bawaan termasuk faktor yang mempengaruhi korban jiwa dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2019.
Ketiga, pembekalan pengetahuan teknis yang sama antara penyelenggara dan saksi peserta Pemilu. Dalam penyelenggaran Pemilu tahun 2019 maupun Pemilu-pemilu sebelumnya, yang menjadi pembeda lama atau tidaknya waktu pelaksanaan di TPS bukan terjadi pada waktu pemungutan suara, akan tetapi saat dilaksanakan penghitungan suara. Sehingga jika ada bekal pengetahuan yang sama antara penyelenggara dan peserta Pemilu akan memungkinkan terjadinya efektifitas waktu saat dilaksanakan penghitungan suara.
Keempat, kesadaran yang sama dari semua pihak untuk mensukseskan Pemilu. Adanya bangunan kesepahaman bahwa sukses dan tidaknya penyelenggaraan Pemilu merupakan tanggungjawab semua pihak, dan bukan hanya tanggungjawab penyelenggara Pemilu perlu menjadi kesadaran bersama. Hal ini erat hubungannya dengan adanya anggapan jika kesuksesan Pemilu merupakan tanggungjawab dari penyelenggara Pemilu saja, karena berkaitan dengan tugas dan fungsi penyelenggara. Sehingga sebagian besar masyarakat ada kecenderungan apatis terhadap kesuksesan pemilu, dan menganggap jika sudah menggunakan hak konstusionalnya sebagai warga negara dengan melaksanakan pemungutan di TPS sudah dianggap cukup.
Meski masih banyak warga yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap belum menggunakan hak pilihnya, kecenderungan membiarkan saja tanpa ada keinginan untuk mengingatkan sangat kuat terjadi di masyarakat. Bahkan mayoritas masyarakat kurang ada minat untuk ikut serta dalam mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara. Tidak hanya itu, tidak sedikit peseta pemilu sendiri yang hanya mengamati proses pemungutan dan penghitungan suara jika hanya berkaitan dengan massa konsttituennya saja atau ketika menyangkut calon atau partai yang didukungnya saja.
Kelima, penerapan protokol kesehatan yang ketat. Protokol kesehatan adalah salah satu hal wajib yang harus ditekankan oleh siapapun yang melibatkan banyak orang dimasa pandemi covid-19 ini. Penerapan protokol kesehatan tidak hanya diberlakukan pada seluruh penyelenggara Pemilu saja, tetapi semua elemen yang terlibat dalam Pemilu.
Termasuk saksi partai politik atau saksi calon. Prinsip kesuksesan Pemilu bukan hanya berkaitan dengan Pemilu yang demokratis, Pemilu yang mampu menghantarkan wakil-wakil masyarakat banyak atau pemimpin bangsa Indonesia berikutnya saja, akan tetapi juga harus tidak adanya ‘cluster’ penderita covid-19 perlu adanya penekanan terhadap semua pihak dan seluruh elemen masyarakat.
Selain beberapa hal di atas, adanya pembatasan jumlah pemilih dalam 1 (satu) TPS paling banyak 300 (tiga ratus) pemilih sebagaimana pelaksanaan Pemilu tahun 2019 harus tetap menjadi ketentuan yang tidak diubah. Dengan semakin sedikitnya jumlah pemilih dalam TPS, maka akan mengurangi beban kerja penyelenggara di tingkat TPS. Sehingga faktor kelelahan dalam menjalankan tugas dapat terminimalisir. Namun konsekuensi dari semakin sedikitnya jumlah pemilih di TPS, akan ada peningkatan jumlah TPS, yang berdampak pada kenaikan anggaran Pemilihan Umum. Dengan jumlah 300 (tiga ratus) pemilih tiap TPS, menjadi jalan keluar untuk keseimbangan beban kerja penyelenggara dan peningkatan anggaran penyelenggaran Pemilu.***