
Reinvensi Makna Swadesi Dalam Harkitnas 2016
KPU-TRENGGALEKKAB.GO.ID Menyongsong peringatan hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-108 sisambut dengan Pekan Swadesi oleh seluruh jajaran instansi pemerintahn di Indonesia termasuk KPU Kabupaten Trenggalek. Hal itu dilakukan sesuai dengan surat Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor B-420/M. Sesneg/Set/TU.00.04/05/2016 tertanggal 13 Mei 2016 yang mernghimbau untuk mengenakan baju batik/lurik selama 4 hari terhitung mulai hari Senen s/d Kamis tanggal 16 s/d 19 Mei 2016. Menurut Drs. Wiratno, MM Sekretaris KPU Trenggalek, Pekan Swadesi kali ini diberlakukan kepada seluruh PNS yang bertugas di Sekretariat KPU Kabupaten Trenggalek. Sedangkan bagi staf pendukung non PNS dihimbau untuk menyesuaikan diri. Kami berharap Pekan Swadesi tahun ini dilaksanakan dengan makna baru, bukan sebatas memakai pakaian batik/lurik. Tetapi pakaian batik asli yang menjadi khasanah budaya nusantara.
Menurut Misbahus Surur Dosen Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim asal Trenggalek memperingati Harkitnas yang direfleksikan ke dalam Pekan Swadesi di Institusi Pemerintahan dan Swasta adalah pemaknaan yang salah kaprah. Biasakan yang benar dan jangan membiasakan yang salah tegas Surur. Karena dari sisi etimologi kata Swadesi pada dasarnya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Swa (sendiri) dan Desh (Negara) yang pada umumnya selalu diartikan dengan kemandirian. Dalam perkembangannya kata swadesi di populerkan oleh Mahatma Gandhi dan dipahami sebagai inti atau jiwa dari Swaraj atau upaya mandiri. Sedangkan dalam arti luas swadesi juga sering dimaknai sebagai rasa bangga memiliki bangsa sendiri atau nasionalisme.
Dalam perspektif historis istilah Swadesi sebenarnya juga perna disitir Presiden Soekarno pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1965. Menurut istilah Soekarno “SWADESI”diidentikkan dengan “BERDIKARI”, yaitu akronim dari Berdiri di atas Kaki Sendiri. Dalam pandangan Soekarno, BERDIKARI memiliki tiga prinsip mendasar, yakni berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian di kebudayaan yang ketiganya tidak bisa dipisah-pisahkan.
Dalam konteks ini, makna Swadesi yang begitu luas menjadi sangat ironis apabila praktenya justru mengalami degradasi dan penyempitan makna hanya sebatas diartikan dengan memakai pakaian batik/lurik. Lebih jauh Surur mengkritik seperti halnya Swadesi, batikpun telah mengalami perubahan makna sebatas motif dan corak tanpa memperhatikan kharakteristik keaslian batik dengan teknik cap ataupun tulis. Sehingga banyak dijumpai pakaian bermotif Batik Printing (Cetak) yang harganya jauh lebih murah dibanding batik asli dengan teknik cap ataupun tulis. Kehadiran batik printing (cetak) yang menggunakan sentuhan tehnologi modern semakin justru semakin menempatkan batik asli nusantara berada dalam posisi yang semakin termarginalkan karena karena harganya lebih mahal.
Semangat Harkitnas yang menjadi momentum penting untuk memupuk kembali bangkitnya semangat nasionalisme akan kehilangan makna dan salah kaprah (kesalahan yang dianggap benar) apabila hanya dimaknai menjadi sebatas pekan Swadesi dalam arti yang sempit. Bagaimana mungkin kita bisa mandiri di bidang ekonomi apabila pekan sewadesi untuk menyambut Harkitnas dalam praktenya justru memakai pakaian batik bermotif batik printing ‘ala China, celana Versace produk Italia, sepatu Crocs buatan Kanada dan minum kopi Starbucks Amerika. Sedangkan persediaan kebutuhan 4 sehat lebih familier dengan beras-sayur impor dari Thailand, daging dari Australia dan lebih akrab dengan buah-buahan durian Bangkok (Thailand) serta Apel Whasington (Amirika). Maka tidaklah berlebihan apabila Swadesi hanya dimaknai sebatas ini, Harkitnas bisa berubah makna menjadi Hari Sakit Nasionalisme. Semoga Pekan Swadesi 2016 ini menempatkan pemakaian batik nusantara sebagai indikator nasionalisme atau kebanggaan menggunakan produk dalam negeri ditengah-tengah kepungan produk luar negeri yang semakin liar.