Ketua KPU Trenggalek : Pancasila Adalah Kalimatun Sawa’ Berbagai Macam Agama dan Ideologi

KPU-TRENGGALEKKAB.GO.ID. Sejumlah tokoh penting di Kabupaten Trenggalek terdiri dari, Politisi, Akademisi, LSM, Osis dan birokrat  hadir di Aula Gedung Balai Benih Ikan (BBI) Trenggalek pada hari Jum’at (03/06/2016) untuk mengikuti peringatan hari Pancasila. Acara yang dikemas dalam bentuk Sarasehan yang diikuti 150 peserta  ini mengambil tema ”Menjaga Ideologi Pancasila di Tengah Gelombang Neoliberalisme dan Radikalisme Beragama”. Pada kegiatan sarasehan tersebut menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Drs.H.Sirmadji, MPd (Anggota DPR RI/FPDIP), H. Mochamad Nur Arifin (Wakil Bupati Trenggalek) dan Suripto (Ketua KPU Trenggalek).

Berdasarkan pantauan reporter KPU, rangkaian acara sarasehan berjalan cukup menarik. Hal ini terlihat dari keseriusan para hadirin yang tidak beranjak dari tempat acara mulai awal sampai akhir. Secara bergiliran narasumber menyampaikan pokok-pokok pikiran dan orasinya mengenai sejarah kelahiran Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sampai pada tantangan yang dihadapi  ditengah-tengah persaingan ideologi dunia. Selesainya ketiga narasumber menyampaikan paparanya, moderator langsung membuka sesi tanya jawab untuk  memberi kesempatan forum menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan bahkan perdebatan-perdebatan kritis yang disertai argumentasi ilmiah.

Pada sesi pertama dimulai dengan paparan Drs. H. Sirmadji, MPd yang diawali dengan memberikan apresiasi QLC (Quantum Litera Center) selaku penyelanggara sarasehan. Menurut politisi senayan asal Trenggalek yang juga  mantan Ketua DPD PDIP Jatim tersebut, tema yang diambil panitia dengan mengusung isu neoliberalisme dan radikalisme keberagamaan sebagai isu yang sangat tepat. “Memang musuh kita saat ini ya dua hal ini. Pertama neoliberalisme, saya lebih suka mnyebutnya fundamentalisme pasar. Kedua adalah gerakan keberagamaan yang ingin mengganti Pancasila yang  ingin memaksakan pandangannya bahkan dengan cara-cara kekerasan”, tegas anggota DPRRI yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Jawan Timur selama dua periode.

Sementara itu pada sesi kedua wakil bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin banyak  bicara soal sejarah Pancasila di tengah-tengah ideologi yang ada. Wakil bupati termuda se-Indonesia ini  banyak mengutip kata-kata Bung Karno dengan begitu fasihnya. Wakil bupati hasil Pilkada serentak 2015 ini  mengakhiri presentasinya dengan mengajak hadirin menyimak tayangan lagu “Pancasila Rumah Kita” yang dinyanyikan oleh Franky Sahilatua.

Sedangkan Suripto Ketua KPU Trenggalek yang mendapatkan giliran di sesi terakhir mengawali paparan pokok-pokok pikirannya dengan  menegaskan bahwa  Pancasila harus dipahami sebagai sebuah teks. Layaknya sebuah teks, pancasila menjadi terbuka bagi segala macam bentuk tafsir. Menurutnya, adanya rebutan tafsir atas pancasila adalah sesuatu yang wajar, karena  sebuah teks  akan menjelma menjadi sesuatu yang otonom ketika ia terpisah  dari perumusnya.  Demikian pula halnya dengan Pancasila yang telah menjadisebuah teks otonom.  Setiap  pembaca teks yang memiliki alam pikirannya sendiri, akan berusaha memahami teks tersebut berdasarkan pengetahuan, pengalaman, bahkan tujuan mereka masing-masing. Dalam situasi sepertyi ini, maka rebutan tafsir atas pancasila  tidak bisa dihindarkan, tegas Ripto.

Lebih jauh bapak dua anak ini mengelaborasi bahwa  tafsir atas pancasila tersebut menjadi tidak wajar apabila berujung pada  adanya absolutisme. Artinya tafsir satu kelompok dianggap yang terbaik dibandingkan tafsir kelompok lain. Dalam situasi yang seperti ini, tentu ada faktor yang paling berkepentingan yang membonceng di balik rebutan tafsir atas panacasila di atas, yakni  faktor politik dan legitimasi historis. Saya melihat  motif peneguhan identitas politik kelompok-kelompok tertentu inilah yang lebih dominan atas perebutan tafsir terhadap pancasila sebagai sebuah teks. Supaya absah, peneguhan itu dilakukan melalui pembongkaran dimensi kesejarahan sebuah bangsa yang dalam kontek ini diwakili oleh pancasila. Sepanjang sejarah kedepan,  pertarungan ideologi dan dasar negara  selalu akan terus berlanjut apabila seluruh anak bangsa tidak mampu menempatkan pancasila sebagai Darul Ahdi (NegaraPerjanjian/Kesepakatan) dan Darus Syahadah (Negara Kesaksian atau Pembuktian). Jadi dalam pandangan Ripto, Pancasila pada dasarnya merupakan landasan bersama (common platform) dan acuan bersama (common denominator) yang dalam bahas Al-Qur’an disebut dengan kalimatun sawa’ (kata tunggal pemersatu) bangsa Indonesia yang majemuk. Ia menyatukan berbagai pandangan ideologi dan agama yang ada di Indonesia dan terutama ada kesesuaian antara nilai-nilai dalam Pancasila dengan agama Islam, tegas Ripto menganalisis.

Hal yang sangat menarik ketika mantan aktivis HMI ini menguraikan tentang  sila-sila dalam Pancasila, khususnya sila pertama. Menurut komisioner tiga periode ini, teks Ketuahanan Yang Maha Esa pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari surat Al-Ikhlas dalam Al-Qur’an. Sila pertama lahir sebagai refleksi dari kecerdasan spiritual bangsa Indonesia, bukan semata-mata hanya sekedar statement politik saja tetapi merupakan statement teologis dan keimanan. Jadi sila ini  bukan suatu pernyataan yang bersifat spekulatif–eskatologis semata. Lebih dari itu, sila Ketuhanan YME adalah peryataan demonstratif yang berdimensi praksis. Karena itu, Soekarno menyebutnya sebagai “Tauhid Fungsional”. Empat sila berikutnya merupakan perwujudan dari sila pertama pada empat ranah kehidupan, pungkas Ripto. (RUD)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 397 Kali.